Catatan Diskusi Ekonomi Bisnis, Nasib Usaha Kecil Dilibas Social Commerce
2 min read
AMANAH INDONESIA -- Universitas Paramadina bekerjasama dengan DPP HIPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia) menyelenggarakan Diskusi Ekonomi Bisnis dengan tema “Nasib Usaha Kecil dilibas Social Commerce”, Senin (16/10/2023).
Diskusi yang diselenggarakan secara daring dan dimoderatori oleh Nurliya Apriyana, MM ini diikuti oleh peserta pengusaha, kalangan umum, mahasiswa dan dosen.
Dalam pengantarnya Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini menyampaikan bahwa seharusnya dengan kemajuan teknologi saat ini dapat memberikan manfaat sebesarnya, tetapi faktanya yang terjadi saat ini malah sebaliknya. “Berbagai kesempatan harus terus diberikan kepada semua golongan terutama golongan menengah dengan tujuan untuk menjadi koperasi seperti yang terjadi pada aplikasi transportasi online.” Katanya.
Dr. Suryani S. F. Motik Ketua Umum HIPPI menyampaikan bahwa tujuan pemerintah melarang adanya social commerce ini atas dasar isu pasar tanah abang, pasar glodok yang kian sepi. “Apakah ada isu lain yang diangkat, seperti pajak?” tanya Suryani.
Suryani melihat posisi pemerintah sudah seharusnya membuat produk lokal indonesia dapat bersaing di pasar, tentunya posisi pemerintah dalam membuat regulasi yang sangat diperlukan untuk mengatur langkah pasti yang akan diberikan kedepannya.
Adrian Wijanarko, MM Kaprodi Manajemen Universitas Paramadina dalam paparannya menyatakan bahwa sebenarnya social commerce tak hanya Tiktok shop saja, tetapi ada Instagram shop, Facebook shop juga. Lalu muncullah banyak pertanyaan mengapa Tiktok shop lebih banyak peminatnya dan lebih terlihat menarik?
“Tiktok shop hadir dengan memberikan experience yang berbeda, komunikasi yang dilakukan melalui fitur komentar pada saat live sehingga terjadinya FGD secara tidak langsung, dan khasnya tiktok memiliki algoritma yang sangat dengan mudah menyebarkan informasi maulu pemberitahuan yang benar-benar diminati oleh penggunanya”. Jelasnya.
Tak hanya itu, Adrian juga melihat bahwa Tiktok shop melakukan monopoli karena menjual berbagai produk dengan harga yang sangat murah sehingga menyebabkan beberapa kemungkinan adanya beberapa pemain yang tidak siap sehingga menyebabkan kebangkrutan.
“Sebenarnya aspek monopolistik yang dilakukan oleh Tiktok shop merupakan sebuah strategi dengan menggunakan Aggressive Promotional Tactics, dimana melakukan promosi dengan memberikan diskon hingga gratis ongkos kirim sehingga dikenal dengan “bakar duit”.” Kata Adrian.
Lebih lanjut Adrian menjelaskan bahwa Tiktok shop juga tidak dapat dikompetisikan dengan social commerce atau e-commerce manapun karena produknya yang sangat murah itu berasal dari China.
“Perlu diketahui bahwa Indonesia dalam kawasan ASEAN merupakan negara yang memiliki UMKM tertinggi, UMKM Indonesia menyerap 97% pekerja, sehingga harusnya pemerintah melakukan proteksi terhadap UMKM sendiri dan harus dilindungi.” Terangnya.
Adrian mengharapkan dengan adanya regulasi ini jangan sampai melemahkan UMKM Indonesia. China dikenal dengan China’s Competitive Advantage karena China dapat menciptakan produk dengan harga yang sangat murah dan tidak tersaingi.
Afiq Naufal, Sekjen Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina melihat pemerintah tidak konsisten dalam setiap statement yang dibuat. Pada awal Juni 2023 pemerintah melihat tiktok sebagai social commerce sangat berpeluang dalam peningkatan perekonomian, tetapi beberapa pada September 2023 pemerintah menyampaikan bahwa Tiktok shop harus ditutup.
“Digitalisasi ini merupakan suatu keniscayaan, sehingga koordinasi antar kementerian sangat dibutuhkan dalam hal ini agar transformasi digital agar segera tercapai.” beber Afiq.
Masih menurut Afiq, pada kenyataannya tidak ada pendidikan atau sosialisasi untuk masuk ke dunia digital, tidak ada stimulus dan pelatihan marketing yang diberikan baik kepada pelaku dari sektor UMKM di Pasar Tanah Abang, Pasar Glodok, dan lain sebagainya.
“Sementara di Permendag No.31/2023 tidak mengurusi hal jual beli secara konsisten karena fenomena yang sama terjadi di sosial commerce banyak barang impor, sehingga banyak asumsi yang menyebutkan bahwa Cina melalui Tiktok ingin masuk ke berbagai negeri” pungkas Afiq. (*)