Melintasi Batas, Denny JA Dorong Diplomasi Lewat Sastra
" Denny JA menilai diplomasi melalui sastra akan menjadi semakin efektif dalam menghubungkan berbagai komunitas di seluruh dunia. "
2 min read
Denny JA berjumpa dengan pemimpin tertinggi Sabah, Ketua Menteri: Hajiji Noer |
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini menekankan bahwa dalam era di mana teknologi semakin memfasilitasi interaksi antarindividu, hubungan diplomatik di tingkat masyarakat sipil dan budaya menjadi semakin penting.
Sebagai contoh, ia mengusulkan kerjasama antara penulis dan aktivis Palestina-Israel dalam sebuah buku yang berisi puisi dan esai tentang penderitaan dan harapan mereka.
"Sekalipun terasa kecil, puisi esai telah menjadi medium bagi para sastrawan Indonesia dan Malaysia untuk bersama-sama menulis tentang pengalaman dua bangsa sejak zaman Bung Karno hingga sekarang," ujar Denny JA yang sering menggunakan AI untuk menulis dan melukis.
Denny JA juga membahas dampak teknologi kecerdasan buatan (AI) terhadap sastra. Ia mencatat bahwa AI telah membantu mengubah sastra dengan cara yang revolusioner, seperti menghasilkan karya yang mirip dengan gaya penulis terkenal seperti Margaret Atwood, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, dan Jalaluddin Rumi.
Menurut Denny JA, penggunaan AI dalam sastra tidak hanya mencakup penulisan, tetapi juga seni lukis. Ia telah menghasilkan ratusan lukisan dengan bantuan AI, yang mengikuti gaya seniman terkenal seperti Picasso dan Van Gogh.
Namun, Denny JA juga menyoroti dilema etis yang muncul dengan semakin luasnya penggunaan AI dalam menciptakan karya seni. Ketika menggunakan AI, siapa sebenarnya yang dianggap sebagai pengarang atau pelukis? Bagaimana hal ini akan mempengaruhi ekonomi dan penghargaan atas karya seni?
Pada sisi positif, Denny JA percaya bahwa sastra, termasuk puisi esai, memiliki peran penting dalam meningkatkan empati dan moralitas manusia. Oleh karena itu, ia mendukung upaya untuk membawa puisi esai ke sekolah-sekolah sebagai sarana untuk memperkaya pembelajaran karakter dan budi pekerti.
Dalam konteks diplomasi, Denny JA menyatakan keyakinannya bahwa hubungan antarnegara tidak hanya memerlukan diplomasi politik, tetapi juga diplomasi ilmu pengetahuan dan sastra. Ia bahkan mengusulkan kolaborasi antara penulis dan aktivis dari Israel dan Palestina dalam menyampaikan pesan perdamaian melalui puisi esai.
Selama kunjungannya ke Kota Kinabalu, Denny JA juga berdiskusi dengan pejabat tinggi Sabah, termasuk ketua menteri, mengenai dukungan pemerintah setempat terhadap Festival Puisi Esai ASEAN yang diselenggarakan secara tahunan.
Dengan demikian, pandangan Denny JA tentang peran sastra dalam diplomasi dan perkembangan teknologi dalam dunia sastra memberikan perspektif yang menarik tentang bagaimana budaya dan teknologi dapat berkontribusi dalam membangun hubungan yang lebih erat antarindividu dan antarnegara. (*)