Sosial Media
0
Nasional
    Loading..
    Home Denny JA Jokowi LSI Denny JA Nasional

    LSI Denny JA: Tiga Rapor Biru dan Satu Rapor Merah untuk 10 Tahun Jokowi

    6 min read

    Presiden Joko Widodo (Jokowi) 
    AMANAH INDONESIA, JAKARTA--Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil penilaiannya terhadap 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berdasarkan tujuh indeks dunia dari lembaga kredibel internasional. Kesimpulan LSI Denny JA menunjukkan bahwa periode kepemimpinan Jokowi (2014-2024) dinilai berhasil dengan pencapaian 3 rapor biru, 1 rapor merah, dan 3 rapor netral.

    Penilaian ini menggunakan pendekatan berbasis data dari lembaga internasional terkemuka seperti World Bank, The Heritage Foundation, Transparency International, dan lainnya. LSI Denny JA merumuskan empat prinsip utama dalam menilai keberhasilan seorang presiden:

    1. Berbasis Data dan Riset dari Lembaga Kredibel
      Penilaian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan selama bertahun-tahun oleh lembaga yang telah teruji kredibilitasnya. Dengan pendekatan ini, hasil penilaian lebih mewakili kondisi yang sebenarnya dibandingkan spekulasi atau prasangka.

    2. Komprehensif, Mencakup Semua Dimensi
      LSI Denny JA melakukan penilaian terhadap berbagai dimensi, mulai dari ekonomi, politik, sosial, hingga hukum. Ini dilakukan untuk menghindari bias penilaian yang hanya menitikberatkan pada satu isu, sehingga memberikan gambaran yang objektif dan menyeluruh.

    3. Membandingkan Data Tahun Pertama dan Terakhir Pemerintahan
      Dengan membandingkan kondisi di tahun pertama (2014) dengan tahun terakhir (2024), penilaian ini dapat menggambarkan apakah terjadi kemajuan atau kemunduran dalam durasi waktu yang cukup panjang.

    4. Menggunakan Data dari Lembaga Dunia yang Kredibel
      Data yang digunakan berasal dari lembaga yang kredibel dan terbuka untuk diakses publik, sehingga hasil penilaian ini dapat diperiksa dan divalidasi oleh siapapun.

    Penilaian berbasis tujuh indeks internasional ini menjadi metode unggulan LSI Denny JA dalam mengevaluasi kinerja presiden Indonesia, dan metode ini juga akan diterapkan untuk presiden-presiden berikutnya. Selain itu, penilaian ini melengkapi metode lain yang umum dilakukan, yaitu Approval Rating atau tingkat kepuasan publik terhadap kinerja presiden pada akhir masa jabatannya.

    Pertanyaannya, mengapa 10 tahun pemerintahan Jokowi melahirkan 3 rapor biru, 3 rapor netral tapi ada 1 rapor merah?

    Data dan analisa lengkap atas tujuh indeks dunia dapat dilihat dalam link yang dilampirkan. Di sini hanya akan dipaparkan gagasan dasar saja.

    Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi (2014-2024) dinilai berdasarkan tujuh indeks kredibel dunia yang memberikan tiga rapor biru, satu rapor merah, dan tiga rapor netral, untuk isu yang berbeda.

    Pertama, Produk Domestik Bruto (PDB), yang diukur oleh World Bank, menilai kualitas ekonomi suatu negara melalui nilai barang dan jasa yang dihasilkan. Hasilnya adalah rapor biru bagi Jokowi, menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan signifikan.

    Kedua, Indeks Kebebasan Ekonomi yang disusun oleh The Heritage Foundation mengukur kebebasan ekonomi suatu negara berdasarkan aspek seperti kepastian hukum, efisiensi regulasi, dan keterbukaan pasar. 

    Indonesia mendapat rapor biru di indeks ini, yang menunjukkan kebijakan ekonomi Jokowi semakin membuka diri terhadap pasar dan investasi.

    Ketiga, Social Progress Index dari Social Progress Imperative menilai kesejahteraan sosial melalui akses masyarakat pada kebutuhan dasar, pendidikan, dan peluang ekonomi. 

    Hasil rapor biru ini mencerminkan kemajuan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi.

    Keempat, namun, dalam Indeks Demokrasi yang diukur oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia mendapat rapor merah. Indeks ini mengevaluasi kualitas demokrasi berdasarkan kebebasan sipil, partisipasi politik, dan proses pemilu. 

    Rapor merah ini menunjukkan tantangan, ada penurunan kualitas, dalam menjaga politik penyeimbang, oposisi, partai politik, DPR, kebebasan sipil dan ruang demokrasi.

    Kelima: Indeks Persepsi Korupsi yang disusun Transparency International mengukur persepsi publik terhadap tingkat korupsi. 

    Indonesia mendapat rapor netral di indeks ini, yang menunjukkan upaya pemberantasan korupsi masih perlu diperkuat.

    Keenam: Indeks Kebebasan Pers dari Reporters Without Borders menilai kebebasan jurnalis dalam mengakses dan menyampaikan informasi. 

    Hasil rapor netral ini menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan, kebebasan pers Indonesia masih menghadapi tantangan.

    Ketujuh, terakhir, Indeks Kebahagiaan yang disusun oleh SDSN dan Gallup Poll mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan subjektif masyarakat. 

    Rapor netral menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain dalam meningkatkan kepuasan hidup masyarakat.

    Pertanyaannya: Why? Mengapa 10 Tahun Jokowi (2014-2024) melahirkan kombinasi 3 Rapor Biru, 1 Rapor Merah dan 3 Rapor Netral?

    Ini tiga alasan utama, mengapa 10 tahun kepemimpinan Jokowi pada 2014-2024 berbuah 3 rapor biru (PDB, Indeks Kebebasan Ekonomi, Indeks Kemajuan Sosial), 1 rapor merah (Indeks Demokrasi), dan 3 rapor netral (Indeks Kebahagiaan, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Korupsi).

    Alasan pertama: Fokus Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi

    Sejak awal kepemimpinannya, Jokowi telah menetapkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama.

    Ia menyadari bahwa ekonomi yang kuat memerlukan fondasi infrastruktur yang tangguh, sehingga ia menggagas proyek-proyek besar seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara. Upaya ini berdampak langsung pada:

    PDB: Pertumbuhan ekonomi Indonesia mendapat dorongan dari meningkatnya konektivitas dan efisiensi transportasi. 

    Dengan pembangunan infrastruktur yang signifikan, logistik nasional mengalami peningkatan efisiensi, yang pada gilirannya mendorong aktivitas ekonomi.

    Indeks Kebebasan Ekonomi: Pemerintah Jokowi memperkenalkan deregulasi besar-besaran serta reformasi untuk mempermudah investasi, seperti Omnibus Law dan penyederhanaan perizinan. 

    Kebijakan ini membuat Indonesia lebih kompetitif di pasar global, meningkatkan peringkat Kebebasan Ekonomi.

    Indeks Kemajuan Sosial: Infrastruktur yang lebih baik juga memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas publik lainnya. 

    Pembangunan ini berdampak positif pada standar hidup masyarakat, terutama di daerah terpencil.

    Namun, prioritas tinggi pada infrastruktur dan ekonomi ini mengorbankan beberapa aspek lainnya, seperti isu lingkungan hidup dan politik oposisi, yang berperan dalam penurunan skor Indeks Demokrasi.

    Alasan kedua: Komitmen yang Kuat pada Stabilitas dan Penegakan Hukum

    Selama 10 tahun, Jokowi juga fokus pada stabilitas politik dan penegakan hukum sebagai pilar utama. Komitmennya untuk menjaga keamanan dan ketertiban nasional, namun punya resiko mengorbankan aspek demokrasi.

    Hal ini berdampak pada:

    Indeks Demokrasi: Dalam upaya menjaga stabilitas, manuver politik aktor pemerintahan membuat DPR dan partai politik tak lagi mampu menjadi suara pengimbang kebijakan presiden.

    Manuver ini meredam demokrasi yang seharusnya memberi ruang bagi aspirasi publik dan kritik konstruktif.

    Memang manuver politik tersebut menjaga kestabilan pemerintahan, namun memberi nilai negatif pada Indeks Demokrasi.

    Indeks Korupsi (Netral): Meskipun ada upaya penegakan hukum, tapi pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum signifikan.

    Kebijakan reformasi birokrasi yang lambat dan pemberantasan korupsi yang inkonsisten menghasilkan rapor netral di Indeks Korupsi.

    Kelemahan ini menghalangi peningkatan signifikan di sektor tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.

    Indeks Kebahagiaan (Netral): Stabilitas keamanan memang terjaga, tetapi menurunnya indeks demokrasi memengaruhi kepuasan hidup masyarakat. Pada akhirnya ini berkontribusi pada skor kebahagiaan yang stagnan.

    Meski stabilitas ekonomi dan sosial meningkat, kebahagiaan publik tidak bergerak naik karena menurunnya indeks demokrasi.

    Alasan ketiga: Pertumbuhan Inklusif yang Belum Maksimal

    Meski ada pertumbuhan ekonomi yang kuat dan beberapa capaian sosial, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam memastikan bahwa manfaat ekonomi tersebut dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

    Tantangan ini berdampak pada capaian yang relatif stagnan di beberapa indeks sosial, seperti:

    Indeks Pembangunan Manusia (Netral): Kemajuan di sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat belum merata di seluruh wilayah.

    Beberapa daerah terpencil masih tertinggal, yang menahan peningkatan signifikan dalam skor HDI Indonesia.

    Indeks Kebahagiaan (Netral): Peningkatan ekonomi nasional belum memberikan dampak signifikan pada kesejahteraan emosional masyarakat. Kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan tantangan dalam mencari keseimbangan hidup membuat masyarakat merasa kurang puas.

    Indeks Korupsi (Netral): Meskipun ada beberapa kemajuan di sektor ekonomi dan penegakan hukum, reformasi yang lambat dan inkonsistensi dalam pemberantasan korupsi tetap menjadi kendala.

    Tingginya kasus korupsi pada tingkat lokal dan kurangnya kepercayaan publik terhadap instansi pemerintah menghasilkan skor yang netral dalam indeks ini.

    Kesimpulan

    Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, Indonesia berhasil mencapai pertumbuhan yang signifikan di sektor ekonomi dan sosial. Namun, tantangan dalam mewujudkan pemerintahan yang sepenuhnya demokratis dan inklusif masih terasa.

    Pencapaian 3 rapor biru, 1 rapor merah, dan 3 rapor netral ini menunjukkan keberhasilan Jokowi dalam menumbuhkan ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga menyoroti perlunya peningkatan dalam demokrasi, kebahagiaan publik, dan reformasi tata kelola yang lebih efektif dan adil.

    Di balik pencapaian ekonomi dan sosial, terdapat tantangan serius yang memengaruhi kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. 

    Indeks Demokrasi yang menurun mengindikasikan adanya pembatasan terhadap oposisi, sehingga DPR dan partai politik tidak berkembang menjadi penyeimbang politik presiden. 

    Langkah-langkah ini, meskipun bertujuan menjaga stabilitas, berpotensi mengurangi kualitas demokrasi jangka panjang.

    Pada indeks korupsi, stagnasi menunjukkan lemahnya reformasi birokrasi dan kurangnya tindakan nyata terhadap kasus-kasus korupsi di berbagai level. 

    Hal ini mencerminkan tantangan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan.

    Selain itu, kebijakan inklusivitas sosial belum optimal. Peningkatan PDB dan infrastruktur lebih banyak dinikmati di wilayah perkotaan, sementara daerah terpencil tertinggal dalam akses pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. 

    Ketimpangan ini membuat kemajuan ekonomi terasa timpang, dan kebahagiaan serta kesejahteraan rakyat belum menyeluruh.

    Diperlukan upaya yang lebih inklusif untuk memastikan bahwa manfaat pembangunan dapat dirasakan seluruh masyarakat.

    Dengan catatan kritis itu, 10 tahun Jokowi tetap bisa dianggap berhasil karena lebih banyak menghasilkan rapor biru. (*)

    Additional JS